Hari ini hari Rabu, dan seperti biasa,
akan diadakan pertemuan ekskul Biologi Club. Bisa dibilang hari Rabu adalah
hari yang paling aku tunggu, kerena dihari rabu aku bisa menghabiskan waktu
bersama Ferrell. Ferrell, anak kelas 9.4 yang sudah lama ku kenal, dan
baru-baru ini aku merasakan ada sesuatu yang menarik di diri Ferrell. Awal mula
aku mengikuti ekskul Biologi Club hanya sekedar ingin mengenal Ferrell lebih
jauh, dan sekarang Ferrell sudah mulai berani untuk menyapaku.
Di hari Rabu ini, rencananya akan
diadakan kegiatan membuat sumur biopori dalam rangka melestasikan lingkungan
sekitar sekolah. Ferrell pun datang bersama teman-teman nya yang lain, dan ada
beberapa diantara nya terdapat sekelompok anak laki-laki yang bukan anggota
Biologi Club. Sekelompok anak laki-laki itu ternyata datang untuk membuat sumur
biopori bersama, mereka diundang pembina kami untuk membantu membuat sumur
biopori. Beberapa diantara mereka adalah teman sekelasku saat aku dikelas 8,
dan salah seorang dari mereka adalah Fabian. Fabian adalah anak kelas 9.5 yang
bisa dibilang namanya tidak pernah absen dalam peringkat 5 besar paralel di
sekolah kami.
Fabian memang sangat pintar, ditambah
lagi dengan penampilan rambut klimis nya dan kacamata. Aku tidak terlalu
mengenal Fabian memang, aku mengenalnya dari mama yang selalu menceritakan
Fabian. Fabian beginilah, begitulah, ditambah lagi peringkat try out dia yang
selalu diatas peringkatku. Kegiatan hari inipun selesai, seperti biasa setelah
melakukan kegiatan pembina kami selalu mengajak kami untuk berbincang-bincang.
Pembina kamu berencana ingin mengajak kami semua untuk menonton film yang
sedang booming daat ini, dan semuanya setuju untuk rencana nonton bersama ini,
dan pembina kami menyerahkan keputusan waktu dan hari nya kepada kami, karena
hari sudah terlalu sore, akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan
perbincangan dipertemuan selanjutnya saja.
Seminggu setelah pertemuan itu Fabian
mengirim sebuah pesan singkat kepadaku yang berisi “Calista, rencana nonton
waktu itu jadi ? Hari apa ? Gue sama temen-temen gue yang waktu itu boleh ikut
kan ?”. Aku menjawab pesan dari Fabian dengan cepat, maklum, gak pernah dapet
pesan singkat dari orang lain selain operator. “Jadi bi, lo mau ikut ? Yakin ?
Lo sama geng lo emang mau jalan sama kita ?”. Fabian membalas “Mau lah... Emang
ada alasan gak mau ? Lo panggil gue apa ? ‘Bi’ ? hahaha... Baru lo yang manggil
gue ‘Bi’”, aku membalas “ya kan geng lo kan anak-anak gaul sekolah gitu, ini
kok jatohnya kayak lo lagi gombal ya ?” Fabian membalas “Ih apa sih ? Pengen
banget gue gombalin ? Eh, gue jago gombal loh... haha”. Sejak hari itu Fabian
rutin menanyakan kabarku setiap hari, bahkan disaat jam pelajaran pun Fabian
sering mengirimkan pesan singkat untukku.
Teman-teman dekatku tau bahwa aku dan
Fabian sering mengirimkan pesan-pesan singkat dan bisa dibilang tidak terlalu
penting. Mereka semua berkata “Cal, lo lagi deket sama Fabian ? Serius lo seket
sama Fabian ? Ya ampun calllll.... Dari Ferrell ke Fabian. Jauh banget ya bedanya,
Ferrell kece gitu, Fabian cupu gitu. Gue gak ngerti lagi sama lo”, aku hanya
bisa membalas tudingan mereka dengan berkata “Ih, apa sih ? Cuma kirim-kiriman
pesan singkat doang salah ? Lagian juga anak cowok sekolah kita mah pasti udah
punya inceran masing-masing, dan inceran nya lo tau sendiri cakepnya kayak apa.
Mantan si Fabian aja kakak kelas yang cantik itu loh, yang kayak boneka
mukanya, mana mau dia sama gue. Udah kalian gak usah senewen gitu”, dan mereka
menjawab “Bisa aja tau dia ngincer lo. Awas aja kalau sampe lo suka sama dia,
terus dia suka sama lo, terus lo berdua jadian, jadi apaan nanti anak lo kalau
punya bokap yang otaknya kayak Fabian, terus nyokap nya kayak lo yang selalu
jadi saingan nya Fabian. Mau ngelahirin Einstein junior lo ?”, aku menjawab
dengan sedikit kesal “Ih, bahasnya udah ke nikah sama punya anak aja, masih SMP
juga. Udah ah, geli bahas anak gitu”.
Semakin
hari aku dan Fabian semakin dekat. Aku sering melihatnya di kantin sekolah
bersama teman-teman sekelasnya. Dua bulan aku dan Fabian tidak pernah absen
menanyakan kabar satu sama lain, dan teman-teman fabian bertanya “Cal, kalau
Fabian nembak lo, lo bakalan terima dia gak ?” aku menjawab “haha, becanda lo ?
Mana mau Fabian sama gue, lagian pasti dia udah punya gebetan. Ya kan ?”,
teman-teman Fabian hanya menanggapi dengan senyuman.
Bulan ini bulan November 2011, dan
teman-teman sekolahku mulai ramai meributkan tanggal 11 bulan ini, karena bisa
dibilang tanggal 11 bulan ini adalah tanggal “Cantik” untuk tanggal jadian. Tanggal
11 bulan November 2011 yang ditunggu pun tiba, dan entah mengapa malam ini
Fabian tidak memberikan kabar kepadaku, dan sejak hari itu Fabian menghilang
beberapa hari tanpa kabar. Aku menanyakan dia kepada teman-teman sekelasnya,
dan mereka semua berkata bahwa Fabian sakit sejak tanggal 12.
Teman-teman Fabian mengajakku untuk
mengobrol sepulang sekolah hari ini, dan saat pulang sekolah kami duduk-duduk
di depan kelas Fabian dan teman-teman Fabian bertanya kepadakku “Cal, tanggal
11 kemaren Fabian nembak lo gak ?” aku bingung dengan pertanyaan yang mereka
lontarkan kepadaku, lalu aku menjawab “ha ? Enggak... Kalian pada kenapa, kok
nanya gitu ?” mereka mengerutkan kening dan berkata ? “Berarti yang satu lagi
ya. Enggak, Fabian bilang dia abis nembak cewek tanggal 11, tapi ditolak. Kita
kira cewek itu lo”, entah mengapa mendengar penjelasan dari teman-teman Fabian
membuat hatiku sedikit sakit, aku merasa sedikit dikecewakan, mengingat betapa
dekatnya kami beberapa bulan ini. Aku hanya bisa berkata sambil sedikit
tersenyum “oh, Fabian lagi deket sama siapa emang ?” mereka mejawab sambil
tersenyum “haha, yah cal, sorry nyakitin hati lo, tapi emang sebelum deket sama
lo, Fabian udah ngincer Devia, anak kelas 9.6 itu loh. Sorry banget ya kita
bikin lo bete gara-gara info itu.” Aku hanya tersenyum dan berkata “enggak
apa-apa kok, gue juga tau dia lagi deket sama cewek, tapi gak tau kalau
orangnya itu si Devia. Eh gue duluan ya”
Aku pulang seperti biasa, namun ada
sedikit perasaan kecewa, entah karena mendengar cerita dari teman-teman Fabian
atau karena hal lain. Dua hari kemudian Fabian masuk sekolah seperti biasa. Aku
bertemu dengan nya di depan gerbang sekolah, Fabian menyapaku terlebih dahulu,
“Pagi Calista... Kayaknya udah lama ya aku gak liat kamu” aku hanya tersenyum
dan membalas sapaan Fabian “Hai Bian, hehe... kamu nya aja yang jarang liat
aku, aku sering kok liat kamu, tapi kamu gak liat, terus mau aku sapa tapi gak
pernah aku sapa, gak tau alesan nya apa, hehehe...”
Fabian menjawab “Ha ? Iya ? Wah...
Kamu jahat ya sama aku, sapa lah, aku sedih nih gak pernah disapa. Haha... Eh
cal, gue duluan ya” aku mengangguk tanda mengiyakan kalimat Fabian. Hari ini
berjalan seperti biasa, aku hanya bisa melihat Fabian berjalan ke arh kantin
bersama teman-teman nya, dan aku bersama ke3 teman dekatku yang selalu
bersamaku kapan pun dan dimanapun. Ke tiga temanku hanya menertawakan ku saat
melihat aku yang memperhatikan Fabian dari kejauhan “Sakit hati mba ? Haha...
lagian, kan udah kita ingetin, gak usah lh deket-deket sama Fabian, dia mah
cupu-cupu gitu mainan nya sama cewek-cewek tenar” Aku hanya mebalas dengan
seadaan “Katanya temen. Temen nya lagi sakit hati malah gak disemangatin, iya
gue tau gue gak setenar cewek-cewek di sekeliling dia, tapi seenggaknya dia
harus tau, gue gak menfaatin kepinteran dia, gak kayak wanita-wanita tenar yang
lo semua bilang. Udah ah, gue lagi gak mau bahas Bian”. Aku dan teman-temanku
pun pergi meninggalkan kantin.
Bel pulang pun berbunyi, diluar mulai
terdengar suara teman-teman ku dari kelas lain yang sudah keluar lebih dulu.
Aku membereskan barang-barangku dan memeriksa lagi apakan ada barang yang
tertinggal. Saat aku sedang membereskan barang-barang aku mendengar suara
seseorang yang tak asing lagi “Hei, Liat Ivan gak ? Gue ada perlu nih sama
Ivan” pertanyaan itu dijawab oleh beberapa teman sekelasku “Ivan atau Calista ?
Hahaha... Fabian bisa aja alasan nya” Fabian menjawab “Nah itu kalian tau, gak
perlu gue perjelas lagi kan ? Tapi serius kok, gue ada perlu sama Ivan, udahan
nya baru deh liat Calista”. Aku mengabaikan obrolan mereka semua lalu bergegas
pulang. Di depan kelas aku melihat Ivan dan Fabian yang sedang berbincang, lalu
“Calista, Kamu mau pulang ? Hati-hatinya” aku hanya mengangguk dan berjalan
menuju gerbang sekolah. Semakin hari Fabian semakin sering mengajak ku untuk
mengobrol dan belajar bersama. Satu minggu sebelum UN, Aku dan Fabian jarang
bertemu untuk mengobrol bersama, kami berdua sama-sama sibuk menyiapkan diri
untuk menghadapi UN dan mempersiapkan diri untuk mengikuti tes penerimaan siswa
SMA. Aku dan Fabian berencana untuk masuk SMA yang sama, tidak jauh dari SMP
kami yang sekarang. Hari yang ditunggu murid kelas 9 se-Indonesia pun tiba.
Hari pelaksanaan Ujian Nasional, hari penentuan kelulusan siswa kelas 9 se-Indonesia.
Hari demi hari kami lalui dan tanpa terasa kami semua telah melalui Ujian
Nasional tingkat SMP se-Indonesia. Aku tidak sabar menunggu hasil Ujian
Nasional. Sebelum pengumuman hasil Ujian Nasional, SMA-SMA negeri RSBI
mengadakan tes untuk menerima siswa baru. Aku mengikuti Tes di SMA Negeri 1
Depok, hampir semua teman-teman SMP ku mengikuti tes yang diadakan SMA Negeri 1
Depok. Tiga hari kami jalanin dan tes tertulispun berakhir pada hari rabu. Aku
dan teman-teman yang lain harap-harap cemas menunggu hasil pengumuman UN dan
pengumuman tes tertulis di SMA Negeri 1 Depok.
Hari pengumuman tes tertulispun tiba.
Aku dan teman-teman pergi menuju SMA Negeri 1 Depok untuk melihat hasil tes
tertulis. Saat aku tiba di SMANSA Depok, aku melihat beberapa temanku yang
sudah datang terlebih dahulu, ada yang tersenyum bergembira, ada yang menangis
terharum ada pula yang menangis sedih, hal itu menambah rasa khawatir ku. Aku
pun berlari ke papan pengumuman dan bergegas mencari namaku. Dan betapa
senangnya diriku saat mengetahui aku lolos seleksi tertulis, aku bergabung
dengan teman-temanku yang lain dan aku melihat Fabian. Teman-teman ku menyapa
Fabian dan bertanya “Bian, gimana hasil lo ? Pasti spektakuler, haha...” Fabian
hanya berkata “Tidak, hasilnya tidak terlalu jauh dengan peringkat Calista, ya
kan Cal ?” Aku yang tidak terlalu memperhatikan nama Fabian di papan pengumuman
hanya bisa mengangguk.
Setelah tes tertulis, aku dan
teman-teman masih harus menjalani tes wawancara siswa dan orang tua murid, dan
tahap terakhir adalah penyerahan nilai UN. Aku menjalani tes wawancara bahasa
inggris pukul 10 pagi, dan bisa dibilang semua berjalan dengan lancar. Beberapa
hari kemudian aku menemani mama untuk mengikuti tes wawancara orang tua. Aku
menunggu bersama teman-temanku. Mama keluar dan bercerita bahwa itu hanya
memberitahukan bagaimana tahap selanjutnya bila aku lolos dan setelah
penyerahan nilai UN, nilai akan diakumulasikan lagi. Aku dan mama pun pulang ke
rumah. Hari pengumuman UN pun tiba, selama di perjalan menuju SMP, aku dan mama
khawatir memikirkan nilai hasil UN ku. Sesampainya di sekolah, mama mengisi
absensi orang tua siswa dan masuk ke dalam kelasku. Kela 9.1. Wali kelasku
menyapa para orang tua siswa, dan memberikan sedikit penjelasan yang tidak
dapan aku dengar dari luar kelas, aku hanya bisa melihat para orang tua yang
mengerutkan keningnya mendengarkan penjelasan wali kelasku. Setelah wali
kelasku memberikan penjelasan, acara selanjutnya adalah pembagian hasil UN.
Dimulai dari absen pertama, orang tua teman-teman ku keluar satu persatu, ada
yang tersenyum, ada yang menggelengkan kepala karena hasil yang tidak sesuai
harapan mereka, dan beberapa dari mereka ada yang bertanya “Calista yang mana ?
Oh... Selamat ya Calista” mereka tersenyum kepadaku dan mengucapkan selamat.
Aku hanya bisa tersenyum dan tidak mengerti maksud dari ucapan selamat mereka,
dan saat mamaku keluar dia tersenyum dan berkata “Selamat ya Cali, nilai kamu
tertinggi di kelas, tapi kamu tidak masuk peringkat 10 besar paralel sekolah,
tapi gak apa-apa, ini juga udah bagus kok”
Aku sangat senang melihat hasil UN
yang diluar dari perkiraanku. Saat aku berjalan ke kantin untuk membeli minum,
aku bertemu Fabian dan orang tua nya, Fabian menyapaku “Hai Cali, gimana hasil
kamu ? Sesuai dengan target ? Nilaiku teringgi di 9.5 loh, hahaha... kamu ? Kan
kamu masih hutang peringkat sama aku, katanya kamu bisa ngalahin peringkat aku.
Mana ? Peringkat seleksi SMANSA dibawah aku, gak jauh sih, tapi tetep aja
dibawah aku. Nah nilai UN apa kabar ? Dibawah atau diatas nih ?” Aku menjawab
dengan sedikit kesal “Aku juga tertinggi di 9.1 kok. Tuh kan, aku juga bisa kan
kayak kamu” Fabian menjawab “Hei, aku kan gak bilang kalau kamu gak bisa
ngalahin aku. Kamu lebih pinter dari aku, tapi kamu gak pernah sadar itu. Kamu
selalu nganggap diri kamu kalah sama aku. Kamu tuh kurang usaha. Nilai kamu
berapa?” Aku menjawab dengan kesal “38,15. Nilai math aku 10,0 haha... Nilai
math 100 sih udah biasa kayaknya di SMP kita, tapi tetep aja aku seneng. Kamu
juga 10,0 kan ?” Fabian menjawab “wow... Keren Cali, nilaiku diatas kamu, tapi
gak ada angka 10,0 hahaha... nilaiku Cuma 38,30” aku mendengus mendengarkan
komentarnya “Cuman ? Bian. Aku gak ngerti lagi sama kamu, nilai segitu kamu
bilang ‘Cuman’ ? Bersyukur wey” Fabian berkata “Hahaha... Sama aja kayak kamu,
kamu selalu membandingkan diri kamu dengan orang-orang yang lebih dari kamu.
Aku juga gitu, liat anak 9.2 yang meraih nilai tertinggi sekota Depok. Nah itu
baru keren” Aku hanya menjawab “okey, kamu dia bukan tandingan aku nilai dia
39, sekian. Mana sanggup lah aku” Fabian menjawab “Eh iya Cali, ini mama aku.
Ma, ini Calista, yang aku bilang dia selalu obses buat ngalahin aku, tapi gak
perna berhasil karen ke’pesimisan’ dia. Haha...” aku hanya tersenyum paksa
mendengar komentar Fabian. Fabian dan orang tua nya pergi meninggalkan kantin
dan bergegas pulang.
Seminggu setelah hari pengumuman UN
aku sibuk memberikan berkas nilai UN untuk diberikan ke SMANSA. Beberapa teman
ku yang tidak lolos seleksi SMANSA ada yang mengikuti seleksi penerimaan siswa
baru di SMA Negeri di Jakarta, dan ada juga yang sibuk mempersiapkan berkas
untuk mengikuti pendaftaran SMA jalur Online. Aku mendengar kabar kalau Fabian
mengikuti tes penerimaan siswa baru di SMA Negeri 28 Jakarta. SMA Negeri 28 Jakarta
bisa dibilang SMA yang di idam-idamkan oleh anak-anak SMP Jakarta untuk
bersekolah disana. Minggu-minggu terakhir di SMP aku mendengar kabar bahwa
Fabian lolos seleksi penerimaan siswa baru di SMA 28 Jakarta, dihari selasa
Fabian mengajakku untuk berbicara seperti biasa. Fabian membuka pembicaraan
dengan menanyakan kabar pengumpulan berkas untuk diberikan ke SMANSA “Cal,
gimana urusan kamu di SMANSA ? Udah beres ? Cie yang udah pasti masuk SMANSA”
aku bingung mendengar komentar Fabian “Udah selesai kok, bukan nya kamu juga
udah pasti masuk SMANSA ?” Aku bertanya dan berpura-pura tidak mengetahui
perihal kelulusan nya di SMA 28. Fabian menjawab “Cali, aku mau ngasih tahu
kamu sesuatu, tapi sebelumnya aku mau tanya sesuatu ke kamu, boleh ?” Aku
mengangguk tanda menyetujui permintaan nya. “Apa kamu mau menunggu seseorang
lebih dari 3 tahun ? Apa kamu akan tetep setia selama 3 tahun lebih untuk
menunggu ? Atau kamu tidak akan menunggu seseorang selama 3 tahun ?”. Aku
menjawab “Menunggu ? Apa alasan untuk aku menunggu ? Dan apa alasan untuk aku
tidak menunggu ? Dan apakah penantian panjangku akan mendapat balasan yang
sebanding ? Apakah orang yang aku tunggu akan kembali kepadaku bila aku
menunggunya ? Apa bukti dia akan kembali ? Mungkin aku tidak akan menunggu,
tapi itu jika dia tidak bisa menjaga perasanku yang setia menunggunya untuk
selama itu. Dan mengapa kau menanyakan hal ini ?”. Fabian mengangguk dan
berkata “Iya menunggu, menunggu diriku. Alasan kau untuk menunggu adalah untuk
menjadi orang satu-satunya dihidupku yang aku sayang. Alasan kau untuk tidak
menunggu adalah begitu banyak laki-laki yang juga menginginkan mu dan lebih
baik dari ku. Penantianmu akan sangat aku hargai, akan aku balas dengan semua
yang aku punya. Dan aku pasti kembali padamu. Aku tidak bisa memberikan bukti
nyata, tapi aku pasti kembali padamu. Dan jika kau memilih untuk tidak
menunggu, aku akan sangat menyesal karena kehilangan kebodohan mu”. Aku tak
bisa menahan air mata dan berkata “Apa yang ingin kamu sampaikan ? Jangan
membuat ku sedih. Atau aku akan membencimu”, Fabian berkata “Aku memutuskan
untuk melanjutkan SMA di SMA 28, tetapi aku tidak bisa untuk melepaskan
senyuman selamat pagimu yang biasanya aku dapatkan. Aku tidak bisa membawamu
bersamaku. Kau telah memilih, dan aku tidak bisa melakukan apapun, kesempatan
hanya datang sekali. Kesempatan bersekolah di 28 dan kesempatan memilikimu. Aku
memang egois bila menginginkan keduanya. Tapi aku manusia. Selalu egois. Benar
kan ? Dan aku sangan berharap kau mau mengunci hatimu dan menunggu ku.” Aku
berkata “Ya, kau memang egois, dan kau memang selalu mendapatkan apa yang kau
inginkan, dan mengapa aku hanya bisa mengalah ? Mengapa aku harus selalu
mengalah ? Kau fikir selama ini aku tidak menunggu mu ? Bodoh ! Mungkin kau
harus mengikuti les untuk mempertajam rasa perduli terhadap orang sekitarmu.”
Fabian tersenyum dan berkata “Jadi, kau mau menunggu ku ? Aku tidak memaksamu.
Sungguh. Tak apa bila kau tidak ingin menunggu.” Aku mengerutkan kening dan
berkata “Jadi ? Kau tidak ingin aku menunggu ?” Fabian berkata “TIDAK ! Aku
sangat ingin kau menungguku. Aku pasti akan kembali menjemputputmu. Tunggu aku
3 Tahun lagi.”
Sejak hari itu aku jarang
melihat Fabian secara langsung. Aku hanya mengetahui kabarnya dari pesan yang
ia kirimkan melalui ponselnya. Dan aku masih tetap disini, di tampat yang
seharusnya menjadi temapat aku dan Fabian menghabiskan waktu SMA bersama,
berangkat kesekolah dengan tujuan yang sama. Dan aku selalu berharap Fabian
mengetahui kegiatan apa yang aku lakukan dan yang akan aku lalui. Aku masih
menunggu dirinya menyapaku di gerbang sekolah setiap pagi, walau itu tidak akan
pernah terjadi lagi, setidaknya aku masih bisa menunggu “Cinta Untuk Calista”
yang Fabian persiapkan untukku.